Kegagalan yang Membawaku Kembali Kepada Tuhan
Artikel tentang para mahasiswa keren yang berprestasi dari berbagai universitas atau negara selalu menarik perhatianku. Mungkin kedengarannya sangat ambisius, tetapi aku memang pernah bermimpi namaku akan ada dalam daftar-daftar semacam itu. Dan, impian itu hampir saja menjadi kenyataan saat aku mulai kuliah. Aku berhasil masuk di salah satu universitas terbaik—hanya 25 persen calon terbaik yang bisa masuk—dan mengukir indeks prestasi yang terus meningkat dari semester pertama hingga ketiga. Selain itu, aku juga diterima dalam sebuah organisasi bergengsi di kampusku. Dengan semua prestasi itu, aku sangat optimis, suatu hari nanti aku juga akan diliput wartawan.
Akan tetapi, semuanya dengan cepat berubah. Semangatku untuk mengejar kesuksesan di dalam dan luar kelas sekaligus ternyata tak cukup untuk mempertahankan prestasiku. Kesibukanku berorganisasi membuat aku tidak bisa fokus belajar dan sering bolos kuliah. IP-ku turun drastis. Aku gagal dalam satu mata kuliah wajib. Masa kuliahku yang seharusnya hanya 3,5 tahun terpaksa diperpanjang menjadi 4,5 tahun. Itu pun dengan catatan nilai-nilaiku mencukupi.
Habis sudah impianku bisa diliput sebagai orang sukses. Optimisme yang tadinya membakar semangatku kini berganti dengan rasa ingin menyerah. Aku menyesal telah mengecewakan orangtuaku dan menyia-nyiakan biaya kuliah yang mereka keluarkan. Aku malu menasihati adik-adikku untuk rajin belajar. Aku minder, tak bisa mengimbangi pembicaraan tentang pelajaran terbaru dengan teman-temanku di kampus. Banyak kelas yang harus kuikuti besama adik-adik angkatan. Rasanya malas sekali untuk kuliah. Ingin sekali aku cuti, namun aku tahu itu tak akan menyelesaikan masalah. Salah-salah, aku malah jadi mahasiswa abadi.
Bersyukur bahwa Tuhan tidak membiarkan aku terpuruk dalam keputusasaan. Dia mengizinkan aku mengalami kegagalan agar aku berhenti sejenak dari ambisi yang menguasai ritme hidupku, dan mengubah pola pikirku yang keliru.
Suatu hari, dalam kedaulatan Tuhan, aku membaca sebuah kutipan dari Bill Gates.
“Saya gagal dalam beberapa mata kuliah, sedangkan teman saya berhasil di semua pelajaran. Sekarang teman saya adalah teknisi mesin di Microsoft dan saya pemilik Microsoft.”
Kutipan sederhana itu membuatku terperangah. Seorang Bill Gates pun ternyata pernah gagal. Mengapa ia bisa berhasil? Karena ia memilih untuk bangkit!
Aku tidak tahu apa yang paling mendorong Bill Gates untuk bangkit. Tetapi, dalam kasih karunia-Nya, Tuhan mengingatkan aku akan Firman-Nya dan mendorongku untuk kembali bangkit. Aku disadarkan bahwa keberadaanku dirancang Tuhan untuk menunjukkan kemuliaan-Nya. Kegagalan yang diizinkan-Nya kualami seharusnya membuatku mengintrospeksi diri, apa yang harus kuperbaiki agar hidupku dapat memuliakan Tuhan, lalu bangkit dan kembali menjalani kuliahku dengan sikap yang baru. Mengapa aku malah jadi malas belajar, cepat menyerah, dan tidak bersungguh-sungguh mempersembahkan kuliahku untuk Tuhan?
Hari ini aku kembali punya mimpi menjadi seorang yang sukses. Mimpiku bahkan jauh lebih besar dari yang dulu. Aku tak hanya ingin dikenal sebagai orang muda keren yang kaya prestasi. Aku ingin dikenal sebagai pribadi yang sukses menjalani hidup menurut kehendak Tuhan dan menyatakan kemuliaan-Nya kepada dunia. Kegagalan bisa saja menyapaku lagi. Tetapi, aku akan selalu bangkit dan kembali berjuang dengan tuntunan firman Tuhan.
“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Roma 12:1).
Penulis: Chronika Febrianti